Jumat lalu (2/3/2018), gue bersama seorang teman datang ke
Bogor buat menyaksikan Festival Cap Go Meh 2018. Awalnya gue berniat buat
datang sendiri tapi setelah mengajak ke salah satu grup Whatsapp sehari
sebelumnya ternyata ada yang berminat buat kesana juga, jadilah gue berangkat
dengan teman sekelas di kampus, Eka namanya.
Festival itu cukup gue tunggu-tunggu dari berminggu-minggu
sebelumnya, karena diadakan setahun sekali dan juga diadakannya di Bogor Tengah yang mana acaranya pun lumayan deket kalau dijangkau dari stasiun, mungkin itu penyebab gue semakin antusias buat dateng ke acara tersebut. Sebagai seorang yang jarang banget
berpergian jauh, gue udah cukup seneng ketika bisa jalan-jalan keluar Depok
yang semakin semrawut ini walaupun cuma naik commuter line yang acap kali ramai
apalagi di jam-jam orang-orang pergi-pulang kerja.
Bersyukur acara tersebut baru dimulai sore harinya, jadi
kita terbebas dari padatnya ibukota commuter line. Sebelum berangkat gue
nanya dulu ke Eka “Ka siap ya jalan kaki jauh soalnya tempatnya ga jauh-jauh
banget nanti kayaknya gausah naik angkot deh” kenyataannya emang begitu....yang
gue liat di google maps. Cuma butuh sekitar 30 menit buat sampai kalau ditempuh
berjalan kaki dari stasiun. Gue yang sebelumnya punya pengalaman buruk menggunakan google maps saat itu yakin-yakin aja ketika kembali menggunakan
aplikasi tersebut karena jalan itu sebelumnya pernah gue lewatin juga. Kemudian dengan sigap Eka meng-iyakan, kebetulan dia ikut
UKM (KSR) di kampus jadi gue ga perlu khawatir misal Eka pegel-pegel dan pingsan
sendiri di tengah jalan,dia bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
Sekitar jam 11 kita berangkat ke Bogor, kala itu keretanya
ga padat penumpang jadi Alhamdulillah kita dapat tempat duduk hingga sampai di
stasiun tujuan. Jam 12 kurang kita sudah sampai di stasiun Bogor, acara masih
dimulai 2-3 jam lagi jadi gue memilih buat mengajak Eka ke Bogor Trade Mall
(BTM) dulu untuk sholat zuhur dan nyari makanan untuk makan siang. Sampai disana
Eka beralih untuk melihat sepatu dan semacamnya. Eka mencari
sepatu yang ada hak dan kewajibannya beberapa
cm. Setelah muter-muter ramayana akhirnya dia tidak menemukan pilihannya,
sebagai wanita gue juga sering begini jadi gue cukup mengerti atas keribetan
seperti itu ✌
Lepas sholat zuhur Eka mengajak gue buat keliling mall,
karena ada yang mau dia cari dan beli gue menyetujuinya. BTM tidak jauh bedanya
dengan mall-mall lainnya karena masih diisi dengan orang-orang yang berjualan
dan yang membeli. Ya iyalah,lit. Gue sendiri ga terlalu suka nge-mall kecuali sedang pengen banget nonton film, ditraktir makan atau emang butuh beli sesuatu yang adanya di mall (ini hal umum yang dilakukan orang-orang sebenernya bukan?) kalau suatu hari ada mall-mall mengadakan hari
bebas belanja silahkan ambil sepuasnya yang anda suka mungkin gue jadi lebih
bersemangat buat dateng nge-mall, tapi tetep kalau mallnya ada di Bulan gue tetep ga semangat sih.
Setelah muter-muter sekian menit, datengin beberapa toko, Eka mendapat barang yang dia mau beli. Gue
bersyukur akhirnya perut gue yang mulai menggaung-gaung kelaparan bisa segera
terisi. Akhirnya gue memilih untuk ngga makan di BTM karena pikir gue “masa ke
Bogor makannya di mall lagi”. Eka setuju dan kita langsung menuju ke Jalan
Surya Kencana sembari mencari makanan di jalan. Dikarenakan akses yang mudah tanpa
nyasar kita lancar sampai ke tempat tersebut. Sampai disana ternyata sudah
dipadati pengunjung, gue yang tadinya mau makan yang belum pernah gue makan
sebelumnya akhirnya cuma menemukan rumah makan biasa. Gue memilih soto mie dan
es teh, sedangkan Eka memilih es jeruk aja karena maunya makan mie ayam dan di
tempat tersebut ga menyediakan. Ujung-ujungnya di tengah-tengah keramaian dia
balik lagi ke tempat tersebut untuk makan bakso sedang gue udah anteng berdiri
di pinggiran untuk siap-siap nonton.
Waktu sudah menunjukkan jam 2 lewat, gue semakin antusias
dan ga sabar untuk menyaksikannya. Keadaan semakin ramai, posisi gue ada di
belakang keluarga yang terdiri dari omanya, mamaknya, anaknya dan cucu-cucunya
yang masih kecil-kecil dan imut-imut yang berdarah chinese. Gue cukup was-was
dengan posisi tersebut karena senggol sedikit aja gue takut kena semprot. Hal
itu terjadi pertama ketika gue lagi asik ngambil gambar tiba-tiba kaki gue ngga
sengaja nubruk mereka yang lagi duduk. Kemudian salah satu cici-cici langsung menatap
gue dengan garangnya. Refleks gue langsung minta angpao maaf ke dia. Kedua
ketika di posisi yang sama gue memindahkan ransel segede gaban yang gue bawa ke
depan karena takut dicopet kemudian salah satu anak kecil anggota keluarga
mereka ngadu ke mamaknya kalau ransel gue yang nampaknya mengganggu dia yang
sedang duduk. Mamaknya langsung bilang ke gue “mba, tasnya itu kependekan mba
katanya”. “eheheheh,engga bu bukan tasnya iya ini saya emang yang kependekan bu
ehehehe pulang lewat mana si ibu” kata gue dalem hati.
Festival belum dimulai, baru pembukaannya saja itu pun gue
ga bisa melihat dengan jelas karena jarak yang cukup jauh dari posisi gue
berdiri. Pandangan gue sebatas melihat para pengunjung yang ada dimana-mana saking
niatnya menyaksikan acara tersebut, saat itu gue percis merasakan kondisi yang
sering gue saksikan di tv.
Gue juga melihat sibuknya pekerja
yang sedang mengemban tugasnya. Diantaranya ada pedagang asongan, petugas kesehatan, aparatur
keamanan yang tediri dari polisi dan TNI, ada juga reporter beserta
kameramennya, dan yang paling banyak gue liat photographer yang sibuk mengabadikan
moment disana.
Tanpa sadar posisi gue semakin terjepit dan ketika melihat
ke belakang sudah semakin dipadati pengunjung lain, pantes keringet mulai membanjir.
Kemudian di tengah-tengah kepadatan datanglah seorang ibu setengah baya
berbicara dengan bahasa sunda untuk meminta menggeser bahwa dia mau melihat
juga festivalnya, cici-cici yang tadi ngeliatin gue dengan garang akhirnya adu
argumen dengan ibu-ibu itu karena dia yang ga menuruti permintaannya. Ibu-ibu
tersebut juga meminta hal yang sama ke pengunjung lain tapi tetap ga dituruti
karena emang posisi yang cukup ribet dan banyak anak kecil disitu.
Gue yang ketika itu sedang kegerahan dan menahan pegal yang
kian menjalar ke seluruh tubuh hanya bisa diem aja mendengar perdebatan mereka
dan gue ga berpihak dengan siapapun meski cukup kasian ngeliat ibu-ibu itu
diomelin.
Jam menunjukkan pukul 3 lewat banyak, cuaca seperti semakin
mendung nampaknya hujan akan segera mengguyur kota hujan. Benar saja, gerimis
mulai turun. Semakin deras, akhirnya gue dan Eka milih buat mundur demi
menyelamatkan diri kami sendiri dari basah kuyup. Saat itu juga pengunjung yang
bawa payung langsung mengambil alih posisi kami yang udah di depan. Oke, 1-0.
Festival masih belum mulai sampai saat itu, karena hujan gue
kira festival tersebut akan berubah menjadi festival jas hujan dimana semua peserta
akan tampil mengenakan jas hujan. Tapi sepertinya itu cuma ada di khayalan gue
doang. Sore itu akhirnya kita memilih pulang karena kondisi yang sudah ribet
banget untuk balik lagi buat nonton, posisi kita pun saat itu belum sholat
asar. Dan untuk ke tempat sholat terdekat disana harus masuk ke lingkup
desak-desakan yang semakin parah tadi. Rela ga rela akhirnya kita menuju ke
stasiun untuk pulang. Dan untuk mengejar waktu kita memutuskan untuk naik
angkot. Cemen banget emang sih, pulang karena hujan doang. Tapi sebenarnya bukan karena hujannya, karena emang mood gue yang udah pengen pulang aja.
Sore itu akhirnya gue gagal untuk menyaksikan festival yang
sudah gue tunggu-tunggu, mungkin memang belum ditakdirkan. Tapi ga begitu
kecewa karena baiknya gue sampai di rumah
ga sampai waktu malam dan banyak waktu untuk gue beristirahat. Soal festival itu, ternyata banyak cerita yang ada walaupun secuil aja yang gue nikmatin.
Tidak cuma mengumpulkan dan menampilkan tentang aneka ragam kebudayaan (yang belum gue liat) tapi
juga aneka ragam profesi yang ada. Selain itu dalam festival tersebut juga ada
yang namanya ujian, ujian untuk ego milik para manusia.
No comments:
Post a Comment